Posisi
geografis Indonesia memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan
negara-negara lain di dunia. Letaknya yang dilalui oleh garis
katulistiwa, menjadikan Indonesia dari dulu memiliki jargon tanah yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi.
Jargon tersebut bukannya tanpa sebab karena hampir semua daratan
Indonesia adalah lahan produktif bagi pertanian, dan hanya sedikit dari
daratan Indonesia yang kurang memiliki kesuburan tanah di atas
rata-rata. Daratan dengan kualifikasi ini umumnya terdapat di
daerah-daerah timur Indonesia yang tekstur tanahnya cenderung berbatu
dan kering. Namun demikian, daerah tersebut justeru memiliki potensi
bagi tumbuhnya tanaman-tanaman khas, seperti Jagung, jambu mete, pohon
lontar dan lain sebagainya, dimana tanaman-tanaman tersebut juga
memiliki potensi pasar yang sangat besar bagi peningkatan ekonomi
bangsa.
Letak
geografis yang memberikan kesuburan tanah Indonesia ternyata tidak
selalu berbanding lurus dengan capaian hasil-hasil pertanian yang
membanggakan. Terbukti, sampai sekarang ini Indonesia belum mampu untuk
berswasembada beras yang posisinya adalah sebagai kebutuhan pokok bagi
mayoritas masyarakat Indonesia. Tentu kalau menilik potensi SDA yang
ada bukan faktor tersebut yang mengakibatkan produktifitas pertanian di
Indonesia berjalan lamban, yang perlu mendapat sorotan adalah program
atau sistem pertanian yang dikerjakan di Indonesia.
Jika memperhatikan sistem pertanian di Indonesia, sebagian besar masih dikerjakan secara tradisional (untuk tidak menyebut “seadanya”), dimana posisi petani adalah orang yang paling berkepentingan terhadap sistem pertanian itu sendiri. Thus, pertanian Indonesia seakan hanya untuk memenuhi kebutuhan skala mikro an sich, yaitu petani dan keluarganya. Padahal, seyogyanya Indonesia dengan lahan pertanian 191.946.000
ha mampu menjadi lumbung pangan dunia yang pada saat sekarang ini
kebutuhan akan bahan pangan dunia terus meninggi (Kompas, 7 Februari
2011), dan tidak sebaliknya Indonesia justeru memperkeruh kondisi pangan
dunia dengan melakukan kebijakan fiskal dengan peniadaan bea masuk
impor pangan, ini artinya pemerintah sama saja tidak mengutamakan
produktifitas pangan nasional.
Sistem
pertanian tradisional semacam ini pasti sangat sulit untuk berkembang,
dan petani (baik pemilik apalagi penggarap lahan) akan selalu jauh
dari kemakmuran. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi ekonomi petani
Indonesia yang mengandalkan pertanian sebagai satu-satunya gantungan
hidup, ketika mereka sedikit saja keluar dari wilayah makan untuk
memenuhi kebutuhan skundernya maka hasil pertanian itu sungguh tidak
signifikan.
Mensejahterakan petani Indonesia dengan total penduduk 260 juta jiwa dimana 41
juta penduduknya adalah petani memang tidaklah mudah, setidaknya
dibutuhkan konsep pertanian besar tetapi tetap merakyat, sehingga muara
kemakmuran adalah pada petani, bukan pada tengkulak atau pedagang
agribisnis semata. konsep pertanian rakyat hemat penulis memiliki konsep
yang sederhana, meliputi pengelolaan pertanian (termasuk pengolahan
lahan dan perlakuan tananaman) serta pengelolaan pasca panen.
Bagaimana
kondisi petani pada saat pengelolaan pertanian? Tidak asing terdengar
di telingah kita ketika memasuki musim tanam, petani akan dihantui oleh
sejumlah kelangkaan. Mulai dari kelangkaan pupuk, kelangkaan bibit dan
terkadang kelangkaan obat-obatan. Padaha ketersediaan Pupuk, Bibit dan
Obat-obatan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pertanian
(rakyat), ketika satu saja dari elemen tersebut tidak tersedia maka
hasil pertanian –pun tidak akan maksimal. Kelangkaan bibit mendorong
petani untuk menggunakan bibit seadanya yang tidak memenuhi standar
mutu benih, sehingga bisa dipastikan tanaman yang tumbuh-pun tidak
memiliki kualitas yang baik. Demikian juga dengan minimnya ketersediaan
pupuk di petani, akan menjadikan tanaman yang ditanam merana dengan
masa depan panen yang tidak jelas.
Belum
terkawalnya regulasi pemerintah tentang pendistribusian pupuk serta
obat-obatan sampai ditangan petani merupakan persoalan serius yang harus
segera diselesaikan, sehingga terhindar dari permainan oknum tidak
bertanggungjawab memanfaatkan momentum kebutuhan tersebut untuk “lebih
mencekik leher petani” dengan menimbun serta menjual kebutuhan pertanian
dengan harga tinggi.
Petani
di Indonesia memang sebagian besar belum bisa melepaskan diri dari
ketergantungan pupuk dan obat-obatan kimia. Walaupun untuk jangka
panjang, pertanian dengan menggantungkkan pada pupuk dan obat-obatan
kimia akan semakin memperpuruk kondisi kesuburan tanah dan kerentanan
akan serangan hama dan penyakit.
Penggunaan
pupuk kimia memang menjadikan tanah pertanian subur secara instan,
karena unsur hara yang mensuplai kesuburan tanah tidak ikut terbaharui
dengan penggunaan pupuk kimia ini. Oleh karenanya, penggunaan pupuk
kimia tidak ubahnya sebagai suplemen yang memforsir kesuburan tanah
dalam waktu singkat tanpa menghiraukan ketersediaan unsur hara yang
masih dikandung oleh lahan pertanian tersebut. Kondisi ini lambat laun
akan mengikis kesuburan tanah/lahan yang terus dieksploitir.
Setali
tiga uang, penggunaan pestisida dan obat-obatan kimiawi memang dengan
cepat mampu mengusir hama dan mengobati penyakit tanaman. Namun, sampai
kapan hama dan penyakit itu mempan dengan obat-obatan kimiawi
tersebut? Sebab hama dan penyakit lambat laun akan membangun kekebalan
tubuh terhadap obat-obatan kimia. Meracik dan menciptakan bahan kimia
baru juga bukan merupakan solusi tepat untuk mengatasi hal ini, sebab
disamping keevektifitasan-nya yang tidak sebanding dengan perkembangan
hama dan Penyakit, unsur kimia dalam pestisida ini juga tidak bisa
hilang pada hasil produk pertanian yang akan dikonsumsi oleh manusia. Jadi produk pertanian dengan menggunakan pestisida kimiawi cenderung mengarah pada makanan yang tercemar.
Beberapa
negara telah memberlakukan peraturan ketat tentang bahan pangan yang
mengandung kimiawi ini. Sejalan dengan hal tersebut maka banyak negara
yang hanya mau mengimpor bahan makanan yang bebas dari unsur kimiawi.
Pertanian Organik sebagai Solusi
Melihat
perkembangan dunia pangan khususnya produk pertanian dewasa ini, sudah
menjadi keharusan apabila pertanian dilaksanakan secara organik.
Potensi mengembangkan pertanian organik di Indonesia pun terbilang
sangat terbuka lebar, hal ini karena tersedianya berbagai unsur tanaman
yang berfungsi sebagai pupuk organik maupun pestisida nabati serta
memungkinkan berkembangbiaknya musuh alami (Predator) bagi pengendalian siklus hidup hama dan penyakit.
Pupuk
organik (kompos) sudah tidak asing lagi bagi petani-petani di
Indonesia. Pada era pertanian klasik kompos yang biasanya terbuat dari
kotoran hewan maupun sisa-sisa tumbuhan yang telah membusuk digunakan
sebagai bahan andalan penyubur tanaman. Seiring dengan maraknya
penggunaan pupuk kimia keberadaan pupuk organik pun mulai ditinggalkan
oleh para petani.
Begitu-pun
dengan perkembangan hama dan penyakit , banyak yang menilai hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor , seperti ; anomali cuaca dan
rusaknya ekosistem alam. Tetapi meningkatnya hama dan penyakit tanaman
dewasa ini juga tidak menutup kemungkinan karena berkurangnya musuh
alami (predator) di alam bebas, sehingga terjadi ketidak seimbangan
ekosistem. Contohnya; mewabahnya hama tikus dikarenakan populasi ular
yang sudah langka, mewabahnya wabah belalang karena menurunnya populasi
burung pemakan belalang, dan lain sebagainya.
Disamping
penggunaan musuh alami untuk pengendalian hama dan penyakit,
penggunaan pestisida nabati juga sangat mungkin untuk diterapkan.
Indonesia memiliki varitas tumbuhan obat untuk penggunaan pestisida
nabati. Penggunaan pestisida nabati ini juga sudah tidak asing lagi
penggunaannya oleh para petani tradisional. Seperti penggunaan tembakau
untuk mengusir hama wereng dan lain sebagainya. Di era sekarang ini pun
semakin banyak ditemui beberapa ekstrak tanaman untuk menanggulangi
hama dan penyakit, seperti penggunaan ekstrak lengkuas untuk
pengendalian penyakit layu pada pisang, ekstrak daun siri untuk
mengurangi kebusukan pada buah salak dan tentunya masih banyak lagi
model pengendalian hama terpadu dengan menggunakan teknik non kimiawi
dengan menggunakan ektraks tumbuhan yang berfungsi untuk mengendalikan
Hama dan Penyakit pada tanaman.
Pertanian
organik memang tidak memberikan reaksi instan pada hasil-hasil
pertanian, akan tetapi dengan pelaksanaan pertanian organik akan membawa
pertanian berjangka panjang dan memberikan solusi bagi tersedianya
bahan pangan yang sehat. Oleh karena itu di era pertanian modern
sekarang ini, penerapan pertanian organik mutlak diterapkan, secara
gradual dan sistematis para petani sedikit demi sedikit dikurangi
ketergantungannya terhadap bahan-bahan kimia.
Penerapan pertanian organik bisa berjalan dengan beberapa syarat : pertama, ada political will dari pemerintah dengan penerapan program-program pertanian organik, kedua, didukung oleh tenaga penyuluh yang kompeten dan langsung terjun ke lapangan (petani), ketiga,
bekerja sama dengan lembaga riset/perguruan tinggi untuk mendapatkan
temuan-temuan baru di bidang pertanian organik. Kerjasama dengan
peneliti dan Perguruan Tinggi ini penting agar penemuan-penemuan hasil
penelitian iitu dapat diaplikasikan dalam bentuk nyata didunia pertnian,
bukan hanya sebagai karya ilmiah yang dibukukan dan dijadikan
referensi di perpustakaan-perpustakaan tanpa aplikasi nyata.
Dengan
terlaksanananya sistem pertanian organik, berarti lepasnya
ketergantungan petani dari pupuk dan obat-obatan kimia, masa depan
pertanian di Indonesia akan semakin baik, para petani bisa mandiri serta
produk pertanian jelas semakin berkualitas. Semoga.
Sumber : SOLOKURO
#agriCAREture