PENGANTAR
Catatan ini adalah ringkasan dari buku “Kronik Revolusi Indonesia” jilit pertama (1945) yang ditulisa oleh Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil. Dalam Kronik Revolusi Indonesia data-data yang dipakai merupakan guntingan-guntingan dari berbagai berita surat kabar yang setiap hari meliput perjalanan kemerdekaan Indonesia. Untuk lebih menghidupkan alur, maka saya masukkan beberapa data tambahan dari berbagai sumber.
Selanjutnya ringkasan ini saya tujukan kepada seluruh anak Bangsa Indonesia.
***
25 Oktober 1945 tentara Sekutu mulai mendaraT di Surabaya dan Semarang. Di Surabaya, kesatuan Sekutu yang mendarat di ujung dan Tanjung Perak adalah tentara Inggris dari brigade ke-49 yang terdiri atas 6.000 personil dengan prajurit Grukha dari Nepal dan India Utara dan perwira Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal A.W.S. Malabay. Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin meminta, agar tentara Inggris tersebut diterima dengan baik dan dibantu.
Sore hari, Gubernur Surio mengutus Ruslan Abdulgani, Dr. Sugiri, Bambang Suparto, dan Kustur untuk melakukan kontak dengan tentara sekutu, dan minta kepada mereka agar tidak mendarat begitu saja sebelum tempat-tempat bagi mereka disediakan. Malam itu juga tercapai kesepakatan pertama antara pihak Sekutu dengan pihak Indonesia, bahwa “tentara Inggris akan menghentikan gerakannya sampai garis 800 m terhitung dari garis pantai Tanjung Perak.”
Siang 26 Oktober 1945, tercapai kesepakatan kedua antara pihak Inggris dan pihak Indonesia di Surabaya. Namun sehari setelahnya, 27 oktober 1945, beberapa pesawat Inggris menjatuhkan selebaran di Surabaya, yang isinya memerintahkan kepada penduduk Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang yang dikuasainya kepada tentara Inggris, dengan ancaman : “Persons seen bearing arms and refusing to deliver them to the Allied forces are liable to be shot.” (Orang-orang yang kelihatan memegang senjata dan menolak menyerahkan senjata itu kepada tentara Sekutu dapat ditembak.)
Pihak Sekutu mengabaikan uluran tangan pemerintah dan rakyat Indonesia setelah mendarat di Surabaya, dan menyerbu penjara Republik untuk membebaskan perwira-perwira Sekutu. 28 Oktober 1945, pos-pos Sekutu di seluruh Surabaya diserang oleh rakyak Indonesia. Birgadir Mallaby nyaris binasa, seandainya pemimpin-pemimpin Indonesia tidak segera memerintahkan penghentian tembak-menembak.
29 Oktober1945, dalam hujan peluru Presiden Soekarno, Hatta, dan Amir Sjarifuddin tiba di Surabaya untuk melakukan perundingan dengan pihak Sekutu untuk menghentikan ketegangan di kota Surabaya. Sehari setelahnya, 30 Oktober 1945 tercapai kesepakatan keempat, yang salah satunya adalah pembentukan Biro Kontak. Setelah itu Presiden beserta rombongan meninggalkan Surabaya di tengah masih berkecamuknya tembak-menembak di Surabaya.
Pukul 17.00 rombongan Biro kontak dan Brigadier Jenderal Mallaby dengan 8 mobil menuju gedung Lindeteves dalam rangka menghentikan pertempuran, karena pertempuran masih terus terjadi. Kemudian rombongan melanjutkan perjalanan ke gedung Internatio. Di sekitar gedung Internatio rakyat dan pemuda menuntut agar pimpinan tentara Inggris dengan rombongan Biro Kontak memerintahkan kepada pasukan Inggris yang terkepung di dalam gedunmg untuk menyerah. Setidak-tidaknya sore itu juga harus diangkut ke pelabuhan dengan meninggalkan senjatanya.
Berdasarkan kesepakatan, Kapten Shaw dari pihak Sekutu disertai Muhammad dari pihak Indonesia dengan T.D. Kundan sebagai juru bahasa. Mereka akan masuk gedung Internatio untuk memberikan perintah penghentian tembak-menembak. Mereka diberi waktu 10 menit.
Ketika ketiga orang itu masih berada di dalam gedung, tiba-tiba geranat yang dilemparkan dari dalam gedung meledak di depan gedung, disusul tembakan gencar dari lantai bawah dan atas gedung. Korban berjatuhan di luar gedung. Waktu itulah mobil Brigadir Jenderal Mallaby meledak dan terbakar. Selanjutnya terjadi pertempuran yang diduga mengakibatkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby.
31 Oktober 1945, pertempuran meletus lagi di Semarang dan Magelang karena tentara Inggris tidak mematuhi syarat-syarat persetujuan dengan para pemimpin Indonesia.
Brigaidr Jenderal A.W.S. Mallaby, panglima tentara Sekutu di Surabaya dinyatakan hilang. Jenderal Christison selaku panglima Sekutu Asia Tenggara mengeluarkan pengumuman agar orang-orang Indonesia yang melanggar genjatan senjata dan bertanggung jawab atas tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby diserahkan kepada Sekutu. Kalau tidak, maka ia akan mengerahkan kekuatan darat, laut, dan udaranya untuk menghancurkan mereka itu. Berikut surat Jenderal Christison dalam bahasa Indonesia:
“Peringatan kepada bangsa Indonesia”
Pada tanggal 28 Oktober sejumlah besar bangsa Indonesia yang bersenjata di Surabaya telah menyerang dengan tiada memberi peringatan atau terjadi provokasi pasukan-pasukan Inggris yang mendarat dengan maksut melucuti dan mengasingkan tentara-tentara Jepang, menolong tawanan-tawanan perang dan orang-orang yang diasingkan, dan menjaga keamanan dan ketentraman di daerah yang mereka duduki.
Dengan demikina orang-orang Indonesia itu telah melanggar perjanjian perletakan senjata buat sementara, dan dengan sewenang-wenangh telah membunuh Brigadir Mallby yang pergi untuk berbicara dengan mereka.
Penyerangan langsung dan tidak bersebab terhadap pasukan-pasukan Inggris bagaimana pun juga tidak diperbolehkan, dan sekiranya orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan tersebut tidak menyerah kepada saya, saya berniat mengunakan segala tenaga dari Angkatan Laut, Darat dan Udara, beserta senjata-senjata modern terhadap mereka sampai mereka hancur.
Kalau dalam tindakan ini orang-orang Indonesia yang tidak bersalah dan luka, maka tanggung jawab dipikul oleh orang-orang Indonesia tersebut yang telah melakukan kejahatan seperti yang saya katakana tadi.
Saya peringatkan kepada bangsa Indonesia di seluruh Jawa, supaya mereka jangan tersangkut paut dengan golongan ekstrimis, dan supaya bekerja sama dengan tentara saya dan hidup damai dan tentram dengan mereka.
Karena jikalau kekerasan dipergunakan terhadap tentara saya, maka jawabanya adalah kekerasan pula. Saya berniat teguh menjamin keamanan dan ketentraman dan berharap kepada orang-orang Indonesia yang baik untuk membantu saya.
Menanggapi surat Jenderal Christison, Biro Kontak Indonesia mengeluarkan pengumuman berisi penjelasan tentang kejadian di sekitar gedung Internatio, Surabaya, yang mengakibatkan tewasnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Di dalamnya antara lain dinyatakan :
“ Seandainya betul Jenderal Mallaby meninggal, maka belum dapat dipastikan apakah meninggalnya itu dari tembakan rakyat atau tembakan Gurkha (pasukan Inggris). Akan tetapi nyata sekali, kalau seandainya beliau meninggal, itu adalah terjadi di tengah-tengah keributan yang disebabkan oleh tembakan-tembakan yang pertama dilakukan oleh pihak Gurkha. Dalam keadaan demikian maka lain-lain anggota Kontak Biro dan rakyat yang berada di lapangan muka Internatio mengandung resiko yang sama.”
Sampai tanggal 02 November 1945, mayat Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang diduga tewas dalam pertempuran di sekitar gedung Internatio belum juga ditemukan. Untuk mengisi kekosongan, maka kedudukan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby di gantikan oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh. Sementara itu kesatuan-kesatuan dari India di bawah Sekutu terus didaratkan di Surabaya.
Dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin mendapat perhatian dunia internasional, terutama setelah terjadi banyak bentrokan berdarah antara rakyat Indonesia dengan tentara Sekutu disejumlah daerah seperti Semarang, Magelang, Surabaya, Medan, Jakarta, dan tempat-tempat lainnya terutama di Jawa dan Sumatera. Di India, Pandit Jawaharal Nehru meminta agar Pemerintah Inggris untuk tidak mengunakan para serdadu Gurkha untuk melawan gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sementara di Australia, kaum buruh Australia di pangkalan pesawat amfibi Rose Bay menolak melayani pesawat-pesawat Belanda, karena ada kemungkinan pesawat-pesawat itu akan digunakan untuk menindas gerakan kemerdekaan di Indonesia. Di Tokyo telah berlangsung demonstrasi beberapa ratus orang dari berbagai bangsa Asia di depan markas besar Jenderal MacArcthur. Mereka membawa spanduk yang isinya meminta agar Amerika Serikat bercampur tangan dalam kemerdekaan Indocina dan Indonesia dari kekejama imprialisme Barat. Perserikatan muslim Kolombo menyatakan dalam sebuah rapat umum, “Perjuangan rakyat Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda didasarkan pada ajaran Islam dan faham demokrasi yang setinggi-tingginya.
Mayor Jenderal E.C. Mansergh yang menggantikan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallby selaku komandan Brigade ke-49 Sekutu di Surabaya, menyatakan ingin bertemu dengan Gubernur Jawa Timur Surio. Sikapnya angkuh sekali. Waktu itu Inggris sudah mendaratkan 24.000 prajurit baru di Surabaya menyusul pertempuran 30 Oktober 1945 di sekitar gedung Internatio Surabaya.
Tanggal 7 November 1945, Biro Kontak Inggris-Indonesia di Surabaya bersidang. Dalam kesempatan itu dikembalikan arloji tangan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallby yang diketemukan tanggal 31 Oktober 1945 di mobilnya yang sudah rusak terbakar. Dalam pertemuan tersebut Mayor Jenderal E.C. Mansergh membacakan surat dari dirinya dalam pertemuan dengan Gubernur Jawa Timur Surio, para pemimpin Indonesia dan Biro Kontak Indonesia di Jalan Jakarta, Surabaya, di terjemahkan oleh T.D. Kundan. Yang isinya sangat angkuh dan mengintimidasi serta menyalahkan pihak Indonesia. Suasana pertemuan menjadi tegang. Gubernur Surio membantah semua apa yang tersebut dalam surat. Sebaliknya Mansergh mengatakan : “ I have the documents that all what I have said it true … and I have my orders … “ (Saya punya dokumen tentang benarnya segala apa yang saya katakana… dan saya telah mendapat perintah sendiri…).
Gubernur Surio kemudian menugaskan kepada Residen Sudirman dan anggota Biro Kontak Muhammad untuk berangkat ke lapangan terbang Morokrembang, guna menyelidiki tuduhan Inggris bahwa “Indonesian tanks and troops are taking up positions.” Mansergh meninggalkan pertemuan setelah menugaskan Kolonel Pugh untuk mengantikannya mewakili Inggris. Gubernur Surio juga berangkat, sesudah menugaskan kepada Dul Arnowo dan Sungkono untuk mewakili Indonesia. Pertemuan dilanjutkan dalam keadaan tegang.
Pukul 13.30 Muhammad datang dari Morokrembang, dan melaporkan bahwa tidak ada tank-tank dan pasukan bersenjata di sekitar lapangan terbang, tidak ada tanda-tanda TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan rakyat akan mengganggu tentara Inggris. Pukul 13.55 rombongan Indonesia meninggalkan pertemuan, karena menurut surat Mansergh, tepat pukul 14.00 ia akan menduduki lapangan terbang Morokrembang. Mereka cepat kembali ke daerah Republik Indonesia.
Pimpinan tentara Inggris di Surabaya mengawatkan kepada atasannya di Jakarta: “Plans for action on 10th November are progressing well.” (rencana untuk aksi tanggal 10 November berjalan baik).
Tanggal 8 November 1945, Mayor Jenderal E.C. Mansergh mengirim surat yang dibawa kurir Inggris kepada Gubernur Jawa Timur R.M.T.A. Surio. Surat bernomor G-512-5 itu menyatakan dengan terang, bahwa kota Surabaya telah diduduki para penjarah, bahwa orang Indonesia telah gagal menepati segala janji dan persetujuan, bahwa orang Indonesia dengan sangat memperlambat evakuasi orang-orang asing yang ingin kembali kenegerinya, dan bahwa orang Indonesia menghalang-halangi tugas melucuti tentara Jepang. Karena itu ia akan memasuki kota Surabaya dan sekitarnya, juga daerah-daerah lain di Jawa Timur untuk melucuti gerombolan-gerombolan yang tidak kenal hukum.
Pukul 11.00, 9 November 1945. Surat jawaban Gubernur Jawa Timur R.M.T.A. Surio disampaikan kepada Mayor Jenderal Mansergh di Jalan Jakarta, Surabaya, melalui tiga orang utusan. Surat itu berisi penolakan atas segala yang temuat dalam surat Mayor Jenderal Mansergh, dan harapan untuk bekerja sama untuk menyelesaikan masalah yang menyangkut kedua belah pihak. Kemudian kepada utusan tersebut disampaikan dua pucuk surat balasan dari Mayor Jenderal Mansergh kepada Gubernur Surio. Surat pertama berbunyi :
To all Indonesian of Soerabaya
On 28 October, 1945, Indonesian of Soerabaya treacherously and without provocation, suddenly attacked the British Forces who had come ofr the purpose of disarming and concentrating the Japanese Forces, of bringing relief to Allied prisoners of war and internees and of maintaining law and order. In the fighting which ensued, British Personnel were killed or wouded, some are missing, interned women and children were massacred, and finally Brigadier Mallaby was foully murderet when trying to implement to truce which had beeb broken in spite of Indonesian undertakings.
The above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless therefore, the following orders are obeyed without fail by 06.00 hours on 10th November at the latest, my disposal, and those Indonesian who have failed to obey my orders will be solely responsible for the bloodshed which must inevitably ensue.
Maj.-Gen. E.C. Mansergh
Commander Allied Land forces, East Java
Sedangkan surat kedua berbunyi:
Instroduction:
My orders are:
- 1. All hostages held by Indonesians will by returned in good conditions by 18.00 hours, 09th November.
- 2. All Indonesian leaders of the youth movements,
the chief of police and the chief official of the Soerabaya radio will
repord at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in
single file carrying with them any arms they possess. These arms will
be laid down at a point 100 yards from the rendezvous. After which the
Indonesians will approach with their hands above their heads and will be
taken into custody, and must be prepared ti sigh a document if
unconditional surrender.
- 3. (a) All Indonesians unauthorized to carry arms and who are in possession of same will report either to the roadside Westerbuitenweg between south of the railway and north of the mosque or to the junction of Darmo Boulevard and Coun Boulevard by 18.00 hours on 09th November, carrying a white flag and priceeding in single file. They will lay be permitted to return ti their homes. Arms and equipment si dumped will be taken over by the uniformed police and regular T.K.R and guarded until dumps are later taken over by Allied Forces from the uniformed police and regular T.K.R.
- 4. There will theafter be a search of the city by Allied Forces and anyone found in possession of firearms or concealing them will be liable to sentence of death.
- 5. Any attempt to attack or molest the Allied internnes will be punishable by death.
- 6. Any Indonesian women and children who wish to leave the city may do so provided that they leave by 19.00 huors on 09th November, and go only to wards Modjokerto or Sidohardjo by road.
(Signed) Maj.-Gen E.C. Mansergh
Commander Allied Land Forces, East Java
Beberapa kapal terbang Inggris menjatuhkan pamflet di Surabaya yang sisinya hampir sama dengan surat ultimatum Mayor Jenderal E.C. Mansergh. Sedangkan Presiden Soekarno di Jakarta memerintahkan kedapa Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo untuk segera menghubungi Pimpinan Tertinggi Tentara Inggris di Jakarta, guna menghindari pertempuran. Ia meminta pemimpin pemerintah di Surabaya menunggu hasil misi Menteri Luar Negeri, sebelum mengambil sikap yang pasti.
Pukul 21.00 Gubernur Jawa Timur R.M.A.T.A. Surio mengucapkan pidato radio, ditujukan kepada rakyat Surabaya khususnya dan Jawa Timur umumnya. Isi pidato tersebut adalah :
“saudara-saudara seluruh Jawa Timur”
Merdeka !
Kami Gubernur Jawa Timur memperingatkan, bahwa hari ini kita penduduk Surabaya dapat surat selebaran yang merupakan perintah dan ditandatangani oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh, Panglima Tertinggi Tentara Darat Serikat Jawa Timur, yang meminta kepada kita sebelum jam 06.00 sore tadi menyerahkan senjata zonder perjanjian, dan apabila perintah itu tidak dilaksanakan sampai jam 06.00 besok pagi, mereka akan bertindak dengan kekuatan Angkatan Laut, Darat dan Udara.
Karena kita tidak merasa berperang dan tidak menghendaki pertempuran, maka surat perintah itu kita anggap tidak pada tempatnya dan kita tetap tidak bertindak apa-apa.
Polisi dan TKR pun tidak mengadakan tindakan apa-apa dan hanya bertindak menjaga ketentraman umum.
Maka dari itu diharapkan dari seluruh rakyat di Jawa Timur terutama pemduduk dalam kota Surabaya supaya tetap tinggal temang dan tidak sekali-kali mulai tindakan privokasi, sambil menunggu keterangan radio lebih lanjut, karena kita telah berhubungan dengan Pucuk Pimpinan kita di Jakarta guna merundingkan hal ini.
Penduduk Surabaya mulai bersiap-siap menghadapi pertempuran. Berbagai barang rumah tangga (meja, kursi, lemari pakaian, balai-balai, tempat sepeda, dll) dikeluarkan dari rumah dan dijadikan penghalang kendaraan di jalan-jalan, terutama dari jalan Pasar Besar sampai Embong Malang.
Menteri Luar Negeri ternyata tidak berhasil mengubah pendirian Pemimpin Tentara Inggris yang akan menggunakan kekerasan kepada penduduk Surabaya. Menteri menyerahkan kebijaksanan kepada pemimpin pemerintahan Surabaya.
Pukul 23.00 Gubernur Jawa Timur R.M.T.A. Surio kembali berpidato melalui radio kepada rakyat Jawa Timur :
“saudara-saudara sekalian”
Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa Surabaya pada hari ini. Tapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijakan kita di Surabaya sendiri.
Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan Negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekat kita yang satu, yaitu berani menghadapi segala kemungkinan.
Berulang ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah “lebih baik hancur daripada dijajah kembali”. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.
Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, Polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda dan rakyat kita.
Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir-batin serta rahmad dan taufik dalm perjuangan.
Selamat berjuang !
Bung Tomo (Soetomo) ketua BPRI (Barisan Permberontak Rakyat Indonesia) berorasi di depan corong RRI?, yang menjawab ultimatum tentara Inggris sekaligus meberikan komando kepada seluruh barisan pejuang dan rakyat Surabaya untuk bertempur dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia :
Bismillahirahmanirahim…
Merdeka…!!!
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia,
Terutama, saudara-saudara penduduk kota Surabaya,
Kita semua telah mengetahui bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan satu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibkan untuk waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang kita rebut dari tentara Jepang. Mereka telah minta, supaya kita datang kepada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang kepada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda menyerah kepada mereka.
Saudara-saudara,
Dalam pertempuran yang telah lampau, kita sekalian telah menunjukan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya, pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini.
Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing dengan pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung, telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol, telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana.
Hanya karena taktik yang licik dari mereka itu, saudara-saudara. Dengan mendatangkan Presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini, maka kita tunduk untuk menghentikan pertempuran. Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri, dan setelah kuat maka sekarang inilah keadaannya.
Saudara-saudara, kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris ini. Dan kalau pemimpin tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin mendengar jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengar jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini. Dengarkan ini hai tentara Inggris. Ini jawaban pemuda Surabaya, ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.
Hai tentara Inggris !
Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih takluk kepadamu. Menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu.
Tututan itu. Walaupun kita tahu bahwa kau sekalian akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada. Tetapi inilah jawaban kita:
“Selama banteng-banteng Indonesia masih memiliki darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih. Maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapa pun juga.”
Saudara-saudara rakyat Surabaya,
Bersiaplah, keadaan genting. Tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak. Baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu.
Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita, saudara-saudara, “Lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka.”
Semboyan kita tetap “MERDEKA ATAU MATI”
Dan kita yakin, saudara-saudara, pada akhirnya kemenangan akan jatuh ketangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akhbar. .! Allahu Akhbar…! Allahu Akhbar…!
MERDEKA…!
10 November 1945, pukul 06.00. Surabaya mulai digempur oleh tentara Inggris dari darat, laut, dan udara sebagai pelaksanaan ultimatum yang diberikan oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh sehari sebelumnya. Gempuran dilakukan dengan menbabi buta dan tanpa pandang bulu. Lima puluh pesawat terbang dikerahkan, sedangkan kapal-kapal perang dari lautan menembakkan pelurunya langsung kesasaran di darat. Bom pertama yang dijatuhkan dari pesawat terbang mengenai gedung Kumpetai Jepang.
Tentara Inggris mula-mula menduduki pelabuhan, lalu bergerak keberbagai penjuru lalu masuk kedalam kota. Pertempuran pecah, antara lain di Tanjungan. Tentara Inggris memperkirakan, Surabaya dapat direbut dalam tiga hari.
Untuk menangkis kecaman dunia bahwa Inggris sedang melakukan kekejaman di Surabaya, maskas besar tentara Sekutu justeru menuduh orang Indonesialah yang justeru lebih dahulu menyerang tentara Inggris.
Dalam menduduki kota, semula dikerahkan pasukan divisi ke-V India yang sudah berpengalaman dalam medan perang Birma dalam melawan tentara Jepang, tetapi karena mendapat hambatan berat dari rakyat Surabaya, terpaksa didatangkan bala bantuan dari kesatuan arteleri dan kavaleri. Inggris semula meremehkan daya pertahanan rakyat Surabaya dengan mengatakan, bahwa mereka itu “no higher than athird grade partisan Army” (tidak lebih dari tentara pastisan kelas kambing). Tetapi menjelang tengah hari pertempuran menjadi semakin hebat, sehingga Mansergh memerintahkan supaya rakyat Indonesia segera menghentikan pertempuran dan meletakkan senjata.
Tidak kurang dari 30.000 tentara Inggris dikerahkan dalam gempuran terhadap Surabaya. Keberanian pemuda Surabaya sangat mengagumkan. Banyak kasus, mereka melompat keatas tank, dan melemparkan bom pembakar ke dalamnya.
Radio Singapura mengabarkan, bahwa pesawat-pesawat terbang Inggris sengaja terbang rendah, agar dapat menembak sasarannya dengan tepat. Dikabarkan juga, ada perintah untuk memberondong saja kerumunan orang yang tampak di darat. Sementara itu tentara Inggris mendapat instruksi untuk menembak setiap himpunan terdiri lebih dari lima orang.
Radio Surabaya menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk membentuk barisan berani mati, guna membantu rakyat Surabaya melawan serangan Inggris. Sambutan hangat datang dari mana-mana, antara lain dari Yogyakarta dan lain-lain tempat di Jawa Timur. Bala bantuan mengalir ke Surabaya untuk mengambil bagian dalam pertempuran yang mulai dinamakan perang sabil itu, terutama dari daerah sekitar Surabaya. Sebagian rombongan di tengah jalan dibom oleh pesawat-pesawat musuh.
Kantor berita Inggris Reuter mengabarkan, ribuan orang Indonesia menjadi korban, laki-laki, perempuan, sipil maupun militer, dewasa maupun anak-anak. Ikut menjadi korban juga orang Tionghoa, Indo-Belanda, dan India. Tetapi jenderal Christison tidak suka jumlah korban pembunuhan masal itu disebar luaskan. Menurutnya korban tidak mencapai jumlah seribu orang. Berapa jumlah korban di pihak tentara Inggris sendiri tidak diberitakan.
Malam, Radio Surabaya dan Radio Solo kembali menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk bersama rakyat Surabaya berjuang menentang kelaliman tentara Inggris dan NICA. Sejumlah pemimpin Indonesia silih berganti menyampaikan pidatonya. Antara lain yang dikatakan: “Bersedia dan bersiaplah untuk membela hak dan keadilan negara kita !” “belalah kedaulatan kita sebagai rakyat yang mencintai tanah airnya.”
Seorang pemuda dari Sumatra berseru kepada rakyat di pulaunya agar sadar keadaan yang dihadapi rakyat Indonesia sekarang. Ia pun berseru agar setiap mereka setiap saat siap sedia, waspada dan seiya-sekata dalam menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Untuk itu mereka perlu meneladani contoh yang telah diberikan oleh para pemimpin perjuangan Indonesia sebelumnya di Aceh, Tanah Batak, Minang kabau dan lain-lain.
Selanjutnya Radio Solo menyiarkan berita-berita sekitar jalannya pertempuran, yang dikirim dari Mojokerto. Ratusan ribu penduduk Surabaya mengungsi ke Gresik, Sedayu dan Lamongan utara, ke Sidoarjo, Porong, Bangil, dan Malang di selatan, dan ke Sepanjang, Krian, Mojokerto, Jombang, dan Kediri di barat.
11 November 1945, pertempuran terus berlangsung di Surabaya antara tentara Inggris yang menjalankan ultimatum Jenderal E.C. Mansergh dan rakyat Surabaya yang mencoba mempertahankan diri. Sebagian kota Surabaya jatuh ke tangan tentara Inggris. Tiga pesawat inggris berhasil dijatuhkan oleh rakyat Surabaya.
TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Surabaya mengabarkan bahwa Surabaya dan sekitarnya telah diserang Inggris dengan bom, tank, meriam kaliber besar, dan lain-lain. Serangan dilakukan dengan membabi buta. Banyak rakyat yang tidak berdosa menjadi korban: Indonesia, Indo, Tionghoa, Belanda, India, dan lain-lain. Mayat korban bertimbun-timbun.
Serangan itu adalah karena rakyat Indonesia tidak mau dan tidak dapat memenuhi bermacam tuntutan Inggris, yang dianggap menghina dan menginjak-injak kedaulatan Indonesia.
Pengurus Pusat Independent Labor Party di Inggris memutuskan untuk minta agar semua tentara negara-negara Eropa ditarik dari Indocina dan Indonesia, dan semua tentara Inggris ditarik dari India, Sailan, Birma, dan Malaya. Atlantic Charter harus dengan segera dan sepenuh-penuhnya dijalankan untuk bangsa-bangsa terjajah yang kini ingin merdeka.
12 November 1945,presiden Soekarno memberikan penjelasan kepada pers tentang peristiwa Surabaya demikian :
“Surabaya telah ditembaki dan dibom secara kejam oleh tentara Inggris. Laporan resmi yang memastikan jumlah korban belum diterima. Nyata ribuan mati dan luka-luka, termasuk perempuan dan anak-anak.
Ratusan orang Tionghoa dan Arab yang tidak bersalah dan suka pada damai yang datang di negeri ini untuk berdagang mati terbunuh dan luka-luka berat. Korban dipihak Indonesia lebih besar lagi. Saya protes keras terhadap pemakaian senjata modern yang ditujukan kepada penduduk kota yang tidak sanggup mempertahankan diri untuk melawan.
Saya mintakan dengan ini perhatian seluruh dunia terhadap pembunuhan secara besar-besaran atas perempuan, anak-anak dan laki-laki. Tentara Inggris di Surabaya berpendapat mereka memiliki alasan yang kuat untuk memusnahkan penduduk Surabaya. Saya sangsikan kekuatan dari alasan itu, tetapi sekali pun dunia akui bahwa tentara Inggris ada mempunyai suatu alasan dan sekali pun di dalam hal ini saya tidak menyukai tidakan-tindakan kaum ekstremis di Surabaya, maka saya berpendapat bahwa pembalasan atau represaille itu adalah sangat berlebihan dan dunia meskilah menghakimi apakah aksi yang telah dialakukan oleh Inggris ada seimbang dengan alasan-alasan itu.
Kaum ekstemis yang sebagian besar tidak tersusun hanyalah dapat dipatuhkan dengan perlahan-lahan, jika TKR Surabaya sudah tersusun baik, tetapi ini akan minta beberapa waktu. Saya mengetahui, bahwa insiden Surabaya akan sangan melukai perasaan umum bangsa Indonesia dan sudah terang bahwa perasaan anti Inggris akan bangkit.
Saya sesalkan adanya perasaan anti Inggris semacam itu, akan tetapi saya berniat untuk membatasi insiden di Surabaya ini.”
Tanggal 13 November 1945, RRI (Radio Republik Indonesia) memberitakan dari Jakarta, bahwa 400 orang serdadu India Islam di Jakarta menolak dikirim ke Surabaya, karena tidak bersedia bertempur melawan bangsa Indonesia yang seagama dengannya dan sama-sama mengucapkan dua kalimat syahadad. Mereka pun berpendapat, bahwa bangsa Indonesia bertempur hanya untuk mempertahankan kemerdekaannya.
RRI Jakarta juga mengabarkan, bahwa orang-orang Tionghoa ikut bertempur bahu-membahu dengan rakyat Indonesia melawan Inggris di Surabaya. Dalam aksinya itu mereka mengibarkan bendera kebangsaan Tiongkok, dan itu dibenarkan oleh Pemerintah Cungking. Juga kaum wanita Tionghoa bahu-membahu dengan para pemudi Indonesia bergiat di barisan Palang Merah Indonesia.
Sementara itu kaum muslim yang tergabung dalam Masyumi daerah Surakarta telah membentuk organisasi Dapur Sabilillah. Organisasi ini bertugas menyediakan makanan dan bahan makanan yang secara kilat dapat dikirim ke Surabaya, untuk membantu para pejuang Indonesia yang sedang bertempur di sana.
Lewat RRI Solo Slamet Muljono berseru kepada seluruh umat Katolik di seluruh dunia, terutama Paus Pius XII di Roma, agar penyembelihan kejam atas rakyat Indonesia yang dilakukan Inggris di Surabaya mendapat perhatian dan dihentikan. Seruaan dilakukan dalam bahasa Latin, yang isinya :
“Kepada umat kristem di mana saja pun di pojok dunia ini yang ada radio, sukalah kiranya kiranya mendengarkan suara kami, rakyat Indonesia, yang sekarang sedang dalam perjuangan keras karena Tanah Air kami diserang Inggris. Kami, bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang suka berperang. Kami hanyalah membela keadilan dan kemanusiaan. Kami minta kepada Paduka Yang Mulia suka menumpahkan perhatian kepada kami.
Kami bangsa Indonesia tidak membenci bangsa apapun. Hanya kami tidak ingin dijajah oleh siapa pun lagi. Inggris, yang sekarang menyerang kami, telah dijadikan Belanda sebagai perkakasnya, sehingga terbitlah pertempuran diantara kami.
Tuhan, lindungilah bangsa kami dari bencana. Jatuhkanlah hukum yang seadil-adilnya. Syukurlah di dunia ini masih ada manusia yang adil.
Kami mengetahui Paduka Yang Mulia sendiri adalah terhitung dalam golongan yang tidak menyukai harta benda dunia.
Inggris dan Belanda tidak menyukai bangsa Indonesia hidup merdeka, dan mereka telah menentang perikemanusiaan. Perbuatannya ini adalah bertentangan sangat dengan paham Katolik. Lindungilah anak-anak yang tidak berdosa. Sudi apalah kiranya Paduka Yang Mulia menyeru hentikan perbuatan Inggris dan Belanda yang kejam itu atas nama ke-Tuhanan, kebangsaan, kesosialan dan keadilan. Inilah suara Indonesia. Atas nama kemanusiaan, kami harap mendapat perhatian kiranya.”
Melalui RRI Solo juga, seorang umat Kristen berseru kepada seluruh umat Kristen Indonesia, demikian :
“Tujuan kita adalah hidup merdeka dalam negara merdeka. Inilah cita-cita yang telah diperjuangkan pahlawan-pahlawan kita dahulu dan sekarang, inilah idam-idaman nenek moyang kita, juga cucu-cucu dan anak-anak kita yang belum lahir kalau mereka bisa berkata tentu mereka ingin kemerdekaan, ingin di bawah naungan Merah-Putih. Pahlawan-pahlawan kita yang dahulu banyak yang tewas membela kemerdekaan dan sekarang pun telah banyak yang tewas untuk Tanah Airnya. Kita yakin, bahwa Tuhan akan menolong kita, karena perjuangan kita adalah suci, berdasarkan keadilan dan perikemanusiaan.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menyebut tidak menentang agama. Karena itu sudahlah semestinya kita bangsa Indonesia baik dari agama mana pun atau yang tidak beragama sekali pun, membantu negara kita.”
Diselingi uraian tentang kekejaman sedadu Jepang di Semarang dan sedadu Gurkha di Surabaya. Dan diteruskan :
“Kini Surabaya jadi lautan api, gudang-gudang dan kampung-kampung bernyala-nyala. Di surau-surau kaum ulama mendoakan keselamatan bangsa kita seluruhnya. Saya serukan kepada kaum protestan, Katolik dan lain-lain umat Kristen, tirulah tidakan ulama-ulama Islam bangsa kita itu.
Dulu selalu ada perselisihan paham antara golongan Islam dan Kristen. Sekarang kita wajib bersatu, bersatu-konco untuk memperteguh Indonesia Merdeka, karena kita sama-sama menjunjung tinggi kemerdekaan itu. Kita harus membela Tanah Air, itulah tujuan yang mulia. Kita harus menjadi bangsa yang turut bertanggung jawab atas Tanah Air kita.
Dalam pertempuran-pertempuran melawan penyerang-penyerang di Semarang, Surabaya dan lain-lain telah ada pemuda-pemuda Nasrani yang gugur sebagai pahlawan. Walaupun masih sedikit, tapi saya percaya kelak jumlah ini akan lebih banyak lagi.
Kita tidak boleh tinggal jadi penonton, kita harus ditonton.”
Berita terakhir tanggal 14 November 1945, yang disiarkan lewat radio menyatakan. Bahwa barisan-barisan perlawanan rakyat di Surabaya telah mengambil posisi di sebelah timur Kali Mas, dan terus menerus melancarkan serangan terhadap Inggris.
Menurut All Indian Radio, kemajuan tentara Inggris hanya sedikit. Untuk mengatasi keadaan sulit itu, ditunggu datangnya bala bantuan, pengganti Divisi ke-5 India.
Kantor berita Inggris Reuter menyatakan, bahwa menurut beberapa komandan tentara Inggris, semangat para pejuang Indonesia dalam menahan serangan Inggris semakin berkobar. Pusat kota Surabaya menjadi lautan api.
Seorang perwira Inggris yang baru datang di Jakarta dari Surabaya mengatakan, bahwa para pejuang Indonesia di Surabaya terus melancarkan serangan hebat tarhadap tentara Inggris, walau setengah kota Surabaya sudah jatuh. Dalam pertempuran hari ini saja, 4 orang lagi perwira tentara Inggris tewas, 2 orang luka-luka, dan 169 orang lainnya hilang.
Radio SEAC (South East Asia Command) di Singapura mengabarkan, bahwa barisan-barisan Indonesia yang bertempur di Surabaya semakin teratur cara tempurnya. Mereka tidak lagi menggelandang di jalan-jalan dan lorong-lorong. Dan persenjataan mereka cukup lengkap.
15 November 1945, seorang wartawan “Merah-Putih” yang terbit di Jakarta menyatakan di Surakarta mengenai kunjungannya ke medan pertempuran Surabaya demikian :
“Sungguh semangat bangsa kita menyala-nyala sekali dan akan tetap terus berkobar-kobar kelihatannya. Hal ini jelas benar terlihat dalam pertempuran-pertempuran. Walau serdadu Gurkha mengahantam prajurit-prajurit kita dengan meriam-meriam tomong (mortir), bagaikan hujan nampaknya, namun mereka terus dan terus saja menyerbu.
Dan lebih mengagumkan lagi semangat kaum wanita kita yang melaksanakan kewajiban mereka di garis belakang dari pertempuran untuk mengatur mengantar makanan bagi pahlawan-pahlawan kita. Mereka tidak mengenal takut atau pun gentar sedikit juga. Kalau peluru sedang menghujan, berdesing-desing datangnya, mereka menjongkok dan merangkak, dan terus mendatangi pahlawan-pahlawan kita itu dengan membawa makanannya sambil berkata kepada pahlawan-pahlawan kita yang sedang berhenti sebentar dengan perkataan yang menerbitkan semangat: ‘mari saudara, makanlah dulu agak sebentar !’
Dalam pertempuran itu dapat saya lihat seorang pemuda yang tangannya hancur luluh kena pecahan granat atau bom. Ketika hendak menarik nafasnya yang terakhir ia berkata kepada kawannya seperjuangan yang berada di sisinya: ‘saudara, berjuanglah terus, jangan pikirkan saya, merdeka !’… lalu ia pun menghabiskan nafasnya yang penghabisan. Sungguh amat mengharukan bagi siapa saja yang mempersaksikan hal itu.”
Dilaporkan juga, bahwa seorang pemimpin Tionghoa telah berpidato di depan corang Radio Surabaya tantang kekejaman yang telah dilakukan oleh tentara Inggris terhadap rakyat Surabaya. Pidato itu ditujukan kepada Pemerintahan Cungking, dan sebagai jawabanya, radio Cungking telah menganjurkan kepada para pemuda Tionghoa untuk bertempur di samping rakyat Indonesia melawan keganasan tentara Inggris.
Para pemimpin rakyat Surabaya menyatakan, bahwa yang terutama dihadapi oleh rakyat Surabaya adalah serdadu Gurkha. Serdadu Inggris hampir tidak kelihatan. Namun mereka yakin benar, serdadu Inggrislah yang ada di belakang layar, memimpin pertempuran.
Sementara itu radio Singapura yang dikuasai SEAC mengabarkan, bahwa jumlah korban rakyat Indonesia di Surabaya sekitar 15-18 ribu orang.
Tanggal 16 November 1945, sekitar 400 prajurit India Islam yang pada tanggal 12 November 1945 menolak dikirim ke Surabaya untuk berperang melawan rakyat Indonesia ditahan oleh pihak Inggris di Jakarta. Selanjutnya mereka disaingkan ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Dan dua ratus lagi prajurit India Islam menyusul ke-400 tamannya menolak dikirim ke Surabaya, dan kini mereka ditahan di suatu tempat di Jakarta.
Tanggal 17 November 1945, Radio Surabaya mengabarkan, bahwa garis pertempuran hari ini berada di sekitar Asamjajar. Musuh terdesak mundur. Bom pembakar dam bom perusak dijatuhkan dari pesawat-pesawat terbang, pecahanya berserakan di seluruh penjuru kota. Beberapa tank musuh dilumpuhkan di dekat Kali Mas oleh Barisan Berani Mati. Sejumlah gedung pemerintahan hancur luluh, antara lain gedung Kantor Pos. sampai jam 12.00 keadaan masih menguntungkan pihak Indonesia.
Sementara itu tentara Inggris dan Gurkha mengundurkan diri ke Morokrembang dan Tanjung Perak. Di kedua tempat itu mereka dikepung pasukan-pasukan Indonesia yang bertekat “Merdeka atau mati”. Baik pemuda maupun pemudi Indonesia berjuang dengan semangat yang berkobar-kobar. Para Kyai dan alim ulama tidak ketinggalan.
Malam hari dimulai serangan umum terhadap musuh. Dalam serangan itu ikut serta orang-orang hukuman, atas permintaan mereka sendiri.
19 November 1945. Setelah seminggu bertempur dengan gagah berani melawan tentara Inggris, barisan rakyat Indonesia di Surabaya berhasil merebut kembali sejumlah kedudukan yang semula jatuh ketangan musuh. Walau musuh menjalankan tipu muslihat dengan berbagai cara, rakyat tetap mampu bertempur dengan semboyan “lebih baik hancur lebur dari pada menyerah”.
Kantor Pos yang tadinya jatuh ketangan musuh, kini dapat direbut kembali. Sesudah berhasil mengundurkan musuh dari tepi laut, kini barisan rakyat Indonesia berusaha menyapu bersih mata-mata musuh yang mencoba memasuki garis pertahanan.
Peran para Kyai (ulama) dan para tokoh sakti dalam hal ini sangat besar.
Musuh kini menderita kekurangan air minum, karena saluran air minum ke tempat mereka diputus oleh barisan rakyat Indonesia. Untuk menutupi kekalahannyam lewat pesawat terbang kini musuh menyebarkan selebaran berisi berita palsu di beberapa tempat di Jawa, seolah-olah Surabaya telah hancur luluh, dan mereka berhasil menguasai keadaan kota.
Kalau di awal pertempuran pesawat-pesawat musuh terbang sangat rendah sekali, maka kini pesawat-pesawat itu tidak berani lagi terbang rendah. Meriam-meriam penangkis serangan udara Indonesia semakin bertambah jumlahnya di Surabaya, siap untuk meruntuhkan pesawat-pesawat itu.
21 November 1945. Pertempuran di Surabaya semakin seru. Pukulan-pukulan pihak Indonesia terhadap Inggris sangat hebat, dan itu diakui oleh musuh. Pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jawa Letnan Jenderal Christison berangkat ke Surabaya untuk melihat keadaan di sana.
Sementara itu seorang wartawan Solo yang baru pulang dari Surabaya berbicara di depan corong Radio Surakarta demikian :
“Sepanjang jalan yang kami lalui, kami lihat rakyat yang siap sedia dengan semangat yang berkobar-kobar. Di Sragen ada yang dinamakan ‘Barisan Macan’ pun turut bertempur di Surabaya. Pasukan ini besar sekali bantuannya dalam pertempuran di sana. Orang-orang sakit yang luka-luka di rumah-rumah sakit dan tempat-tempat perawatan lainnya pun sama besar semangatnya dengan yang dimedan pertempuran. Orang-orang hukuman semuanya berpendirian bahwa mereka ingin menyumbangkan jiwa-raganya kepeda Ibu Pertiwi Indonesia.
Di Ngawai ‘Barisan Mati’ mengharap-harap supaya segera dikirim ke Surabaya. Permintaan untuk masuk barisan ini sangat besarnya sehingga semua permintaan tidak bisa dipenuhi.
Di Jombang, Nganjuk dan beberapa kota lagi pemuda-pemuda tiada lagi bisa ditahan di rumah. Mereka semua ingin bertempur untuk menunjukkan baktinya di Surabaya. Pemimpin-pemimpin tidak mudah menolak keinginan mereka ini. Mereka semuanya memiliki tekat yang tebal. Sudah tentu pemimpin-pemimpin pertempuran berbesar hati menerima mereka, sebaliknya harus jangan dilupakan bahwa kekuatan yang sedemikian besarnya ini tidaklah boleh dihabis-habiskan semua agar kita jangan kehabisan tenaga. Maka pemimpin-pemimpin kita di sana pun telah mengambil aturan sedemikian sehingga seberapa perlu saja dahulu dikirim ke medan pertempuran. Soal ini semua amatlah menggembirakan Gubernur Jawa Timur yang sama besar semangatnya dengan rakyat yang berjuang itu.
Kita di sana menjadi saksi pula bagaimana giatnya para alim-ulama berlatih. Dalam asrama-asrama kelihatan Barisan Hisbullah selalu siap sedia. Orang-orang yang memakai celana pendek, yang memakai serban dan lain-lain macam manusia lagi yang kesemuanya membawa tombak dan lain-lain senjata menunjukkan kegiatan masing-masing. Melihat segala kejadian itu kita berani menanggung bahwa pemuda-pemuda Indonesia tidak akan mundur setapak pun untuk membela Tanah Airnya itu.
Sepanjang jalan besar Mojokerto kelihatan orang berderet-deret, kebanyakannya anak-anak dan kaum wanita, yang menyingkirkan diri dari Surabaya. Ada juga kelihatan laki-laki, akan tetapi mereka hanya untuk mengantar saja untuk kemudian kembali lagi ke medan pertempuran. Mereka menyingkir itu boleh dikata tidak ada yang membawa harta milik, melainkan hanya pakaian yang melekat di badannya saja. Deretan orang banyak ini kelihatan dari sore hingga malam, karena siang hari selalu mendapat serangan dari pesawat-pesawat terbang musuh yang tidak segan-segan menembaki manusia-manusia lemah itu. Tidak ada kelihatan di antara mereka itu menangis dan menggerutu, semangat mereka tetap tinggi dan insaf bahwa perjuangan yang terjadi di Surabaya itu adalah untuk membela kehormatan Negara Replublik Indonesia. Pun anak-anak tidak ada yang kelihatan menangis. Sungguh suatu keanehan. Orang-orang yang kelihatan berfoya-foya tidak ada kelihatan sama sekali. Di Mojokerto orang-orang yang menyingkirkan diri diselenggarakan oleh Persatuan Putri Indonesia dan Perwani dengan sebaik-baiknya.
Di tempat Palang Merah Indonesia kami bertemu dengan para dokter, di antaranya dokter-dokter Djohan, Sumantri dan Imam Sujudi yang sibuk melakukan kewajiban masing-masing bersama-sama juru rawat. Sedikit pun tidak kelihatan rasa jemu atau tanda-tanda keletihan di wajah mereka. Begitu juga orang-orang luka yang dirawat di situ tidak mengerang, dan tidak mengeluh sehingga banyak memudahkan pekerjaan para dokter-dokter itu. Di tempat ini para korban hanya diberikan pertolongan pertama atau dilakukan operasi-operasi kecil sebelum dianggut ke tempat yang lebih aman. Akan tetapi jika terpaksa operasi besar pun dilakukan di sini. Walau pun sebentar-sebentar pesawat-pesawat terbang musuh datang mengganggu, namum para pegawai Palamg Merah Indonesia tidak sedikit pun tiada kelihatan gugup. Orang-orang di jalanan pun demikian juga, setidak-tidaknya mereka pergi sekedar berlindung di bawah pohon di pinggir jalan agar jangan kelihatan dari atas.
Di medan pertempuran ini selain menjadi juru rawat dan pegawai Dapur Umum, pemudi-pemudi kita juga menjalankan motor-motor pengangkut orang-orang sakit atau pengangkut makanan.
Rakyat yang tinggal di sekeliling tempat itu dengan tulus ikhlas menyediakan pekarangan rumahnya untuk dipergunakan Palang Merah Indonesia sebagai tempat-tempat pemberian pertolongan pertama oleh para juru rawat.
Tetapi sudah adat dunia tidak ada gading yang tak retak dan oleh karena itu di antara kesatria rakyat Jawa Timur yang banyak itu terdapat juga golongan-golongan yang keji dan penghianat. Jika ada sesuatu perbuatan yang sangat rendah dan durhaka, maka perbuatan itu adalah penghianatan terhadap Tanah Air. Yang jadi penghianat itu bukan saja orang-orang Belanda-Indo, Belanda, Tionghoa dan Arab, akan tetapi bangsa Indonesia sendiri. Mereka menjadi silap, buta dan tuli oleh deringan atau jumlah wang yang besar atau pun pakaian-pakaian yang bagus dan sepatu-sepatu baru yang dihadiahkan NICA dan Inggris yang lagi kepayahan menghadapi kesatria-kesatria kita. Mereka lupa akan Nusa dan Bangsanya yang telah memberi dia makan, memberi ia tempat dan tanah untuk ia berkubur. Mereka lupa akan keadaan yang nyata, lupa akan semangat yang bulat dari bangsanya untuk merjuang mati-matian menentang musuh-musuh durjana, mereka lupa bahwa paling sedikit bambu runcing akan menewaskan jiwanya, dan lupa bahwa akhirnya mereka akan tertangkap juga.
Pekerjaan penghianat-penghianat ini adalah memberi tanda kepada pesawat-pesawat terbang musuh dengan tembakan pistol untuk menunjukkan kepada mereka arah kedudukan kita dan ada juga yang kewajibanya menikam perjuangan kita dari belakang.”
Sampai tanggal 22 November 1945 pertempuran masih terus berkecamuk di Surabaya. Pesawat-pesawat Inggris terus menjatuhkan bomnya, dan kapal-kapal lautnya terus juga melakukan gempuran. Sementara itu pasukan kavaleri mencoba memasuki kota Surabaya dengan membawa bendera Merah Putih, tetapi mendapat perlawanan hebat dari para pejuang Indonesia. Inggris mengakui, bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya hebat sekali.
Terpengaruh oleh perlawanan itu, serdadu-serdadu Ambon, Timor, dan Menado menyatakan akan segera meninggalkan Pulau Jawa beserta anak istrinya.
Radio Pemberontak Surabaya menyiarkan seruan berikut:
“Ayoh, pemuda-pemuda yang masih tinggal di rumah, yang masih tidur enak dam makan sesuka hati, bangkitlah dan berangkatlah segera ke Surabaya, karena masa tidak ada lagi untuk bersenang-senang. Inggris dan segala pembantunya dalam seminggu ini juga mesti meninggalkan Surabaya atau hancur musnah seluruhnya.”
Kantor berita Amerika United Press menaksir, bahwa korban penyembelihan Inggris di Surabaya sudah melebihi 60.000 orang, termasuk 5.000 orang Tionghoa.
23 November 1945, pihak Inggris di Surabaya dengan terus terang menyatakan, bahwa “banyak orang-orang Indonesia ‘dibunuh’ di kota itu”.
Sementara itu radio Pemberontak Surabaya mengabarkan, bahwa beratus-ratus mata-mata musuh telah ditangkap berkenaan pernuatan mereka yang menghambat gerakan pasukan Indonesia selama tiga hari terakhir. Di antara mereka terdapat orang Belanda-Indo, Tionghoa, Arab, dan juga orang Indonesia sendiri.
Istri seorang yang gugur akibat tembakan Belanda telah menyerahkan tiga lembar uang kertas puluhan yang berlumuran darah kepada Fonds Kemerdekaan. Uang tersebut disertai surat yang bunyinya sebagai berikut :
“Merdeka !
Untuk Fonds Kemerdekaan f 30,0 (tiga puluh rupiah). Dari keluarga korban NICA. Uang ini kedapatan dari korban tersebut (berdarah). Indonesia tetap merdeka ! NICA akan dapat pembalasan. Merdeka !
Akhir November 1945, setelah tiga minggu bertempur melawan rakyat Surabaya, tentara Inggris mengakui: “…the Indonesians were only driven uot of Surabaya after a tremendous artillery and naval bombardment and 21 days of severe fighting” (orang Indonesia hanya dapat diusir dari Surabaya setelah digempur secara dahsyat dengan meriam arteleri dan meriam angkatan laut, dan setelah 21 hari pertempuran hebat).
Arsip Inggris di London menyatakan, bahwa di tengah puing-puing dan di jalan-jalan kota Surabaya ditemukan 6.315 korban orang Indonesia, tidak termasuk korban yang jatuh ketangan Inggris. Kota Surabaya mereka namakan inferno (neraka), yang menunjukkan betapa hebatnya pertempuran waktu itu.
Desember 1945, pertempuran Surabaya telah sampai pada tahap paling akhir. Pasukan-pasukan Indonesia menjalankan taktik bumi hangus. Kantor-kantor pemerintahan dan gedung-gedung penting dijadikan abu, dan pintu-pintu air yang menuju Surabaya dirusak. Dengan demikian tentara Inggris dan Gurkha hanya menjumpai kota yang sebagian telah hancur lebur.
Menurut Radio Pemberontak Surabaya, Laskar Pemberontak Indonesia telah mempertahankan kota Surabaya sampai titik penghabisan, dan pertempuran masih terus berlangsung di titik-titik strategis. Mata-mata musuh beserta kaki tangannya dibekuk batang lehernya, dan kepada mereka telah diperlihatkan akibat dari perbuatan mereka yang durjana.
Usaha Inggris untuk memecah belah penduduk Surabaya tidak memperoleh hasil. Sebaliknya dendam kesumat penduduk Surabaya terhadap mereka semakin meningkat. Dam pemboman membabi buta mereka sama sekali tidak mematahkan semangat juang rakyat Indonesia.
MERDEKA…!!!
dari https://www.facebook.com/notes/anton-sugiarto/kronik-10-november/10150390539082488